Keep Smile Everyday whatever happens
Live your Life with Love and Laugh

PROMO CMP (Classic Mulberry Powder)

PROMO CMP DARI NFONLINE SHOP~
IDR 130rb/box
IDR 375rb/3box
IDR 690rb/6box
IDR 888rb/8box

PEMBELIAN LEBIH DARI 6 BOX FREE ONGKIR SE INDONESIA!
INFO LENGKAP

Rabu, 03 Agustus 2011

Teladan Seorang Ayah

Yang ayah wariskan kepada anak-anaknya bukan kata-kata atau kekayaan, tetapi
sesuatu yang tak terucapkan yaitu teladan sebagai seorang pria dan seorang
ayah – Will Rogers

Setahuku, botol acar besar itu selalu ada di lantai di samping lemari di
kamar orang tuaku. Sebelum tidur, Ayah selalu mengosongkan kantong celananya
lalu memasukkan semua uang recehnya ke dalam botol itu. Sebagai anak kecil,
aku senang mendengar gemerincing koin yang dijatuhkan ke dalam botol itu.
Bunyi gemericingnya nyaring jika botol itu baru terisi sedikit. Nada
gemerincingnya menjadi rendah ketika isinya semakin penuh. Aku suka jongkok
di lantai di depan botol itu, mengagumi keping-keping perak dan tembaga yang
berkilauan seperti harta karun bajak laut ketika sinar matahari menembus
jendela kamar tidur.

Jika isinya sudah penuh, Ayah menuangkan koin-koin itu ke meja dapur,
menghitung jumlahnya sebelumnya membawanya ke bank. Membawa keping-keping
koin itu ke bank selalu merupakan peristiwa besar. Koin-koin itu ditata rapi
di dalam kotak kardus dan diletakkan di antara aku dan Ayah di truk tuanya.
Setiap kali kami pergi ke bank, Ayah memandangku dengan penuh harap. “Karena
koin-koin ini kau tidak perlu kerja di pabrik tekstil. Nasibmu akan lebih
baik dari pada nasibku. Kota tua dan pabrik tekstil di sini takkan bisa
menahanmu.” Setiap kali menyorongkan kotak kardus berisi koin itu ke kasir
bank, Ayah selalu tersenyum bangga. “Ini uang kuliah putraku. Dia takkan
bekerja di pabrik tekstil seumur hidup seperti aku.”

Pulang dari bank, kami selalu merayakan peristiwa itu dengan membeli es
krim. Aku selalu memilih es krim cokelat. Ayah selalu memilih yang vanila.
Setelah menerima kembalian dari penjual es krim, Ayah selalu menunjukkan
beberapa keping koin kembalian itu kepadaku. “Sampai di rumah, kita isi
botol itu lagi.” Ayah selalu menyuruhku memasukkan koin-koin pertama ke
dalam botol yang masih kosong. Ketika koin-koin itu jatuh bergemerincing
nyaring, kami saling berpandangan sambil tersenyum. “Kau akan bisa kuliah
berkat koin satu penny, nickle, dime, dan quarter,” katanya. “Kau pasti bisa
kuliah. ayah jamin.” Tahun demi tahun berlalu. Aku akhirnya memang berhasil
kuliah dan lulus dari universitas dan mendapat pekerjaan di kota lain.
Pernah, waktu mengunjungi orang tuaku, aku menelepon dari telepon di kamar
tidur mereka. Kulihat botol acar itu tak ada lagi. Botol acar itu sudah
menyelesaikan tugasnya dan sudah di pindahkan entah ke mana. Leherku serasa
tercekat ketika mataku memandang lantai di samping lemari tempat botol acar
itu biasa di letakkan.

Ayahku bukan orang yang banyak bicara, dia tidak pernah menceramahi aku
tentang pentingnya tekad yang kuat, ketekunan, dan keyakinan. Bagiku, botol
acar itu telah mengajarkan nilai-nilai itu dengan lebih nyata dari pada
kata-kata indah.

Setelah menikah, kuceritakan kepada Susan, istriku, betapa pentingnya peran
botol acar yang tampaknya sepele itu dalam hidupku. Bagiku, botol acar itu
melambangkan betapa besarnya cinta Ayah padaku. Dalam keadaan keuangan
sesulit apa pun, setiap malam Ayah selalu mengisi botol acar itu dengan
koin. Bahkan di musim panas ketika ayah diberhentikan dari pabrik tekstil
dan ibu terpaksa hanya menyajikan buncis kalengan selama berminggu-minggu,
satu keping pun tak pernah di ambil dari botol acar itu. Sebaliknya, sambil
memandangku dari seberang meja dan menyiram buncis itu dengan saus agar ada
rasanya sedikit, ayah semakin meneguhkan tekadnya untuk mencarikan jalan
keluar bagiku. “Kalau kau sudah tamat kuliah,” katanya dengan mata
berkilat-kilat, “kau tak perlu makan buncis kecuali jika kau memang mau.”

Liburan Natal pertama setelah lahirnya putri kami Jessica, kami habiskan di
rumah orang tuaku. Setelah makan malam, Ayah dan Ibu duduk berdampingan di
sofa, bergantian memandangku cucu pertama mereka. Jessica menagis lirih.
Kemudian susan mengambilnya dari pelukan Ayah. “Mungkin popoknya basah,”
kata Susan, lalu dibawanya Jessica ke kamar tidur orang tuaku untuk di ganti
popoknya. Susan kembali ke ruang keluarga denga mata berkaca-kaca. Dia
meletakkan Jessica ke pangkuan Ayah, lalu menggandeng tanganku dan tanpa
berkata apa-apa mengajakku ke kamar.

“Lihat,” katanya lembut, matanya memandang lantai di samping lemari. Aku
terkejut. Di lantai, seakan tidak pernah di singkirkan, berdiri botol acar
yang sudah tua itu. Di dalamnya ada beberapa keping koin. Aku mendekati
botol itu, merogoh saku celanaku, dan mengeluarkan segenggam koin. Dengan
perasaan haru, kumasukkan koin-koin itu kedalam botol. Aku mengangkat kepala
dan melihat Ayah. Dia menggendong Jessica dan tanpa suara telah masuk ke
kamar. Kami berpandangan. Aku tahu, Ayah juga merasakan keharuan yang sama.
Kami tak kuasa berkata-kata.


—–> : Sebuah cerita yang luar biasa!! Inilah sebuah cerita yang menunjukkan
besarnya cinta seorang ayah ke anaknya agar anaknya memperoleh nasib yang
jauh lebih baik dari dirinya. Tetapi dalam prosesnya, Ayah ini tidak saja
menunjukkan cintanya pada anaknya tetapi juga menunjukkan sesuatu yang
sangat berharga yaitu pelajaran tentang impian, tekad, teladan seorang ayah,
disiplin dan pantang menyerah. Saya percaya anaknya belajar semua itu
walaupun ayahnya mungkin tidak pernah menjelaskan semua itu karena anak
belajar jauh lebih banyak dari melihat tingkah laku orang tuanya dibanding
apa yang dikatakan orangtuanya. Semoga cerita ini menginspirasi kita semua.

sumber: unknown

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment untuk mendapat backlinks, mohon comment yang memang perlu dan membangun, bukan comment asal asalan atau sekedar nitip link.

Making Money Online From Home

http://www.buxvertise.com/builder.php?id=10972 Earn easy money with Daceband
make cash

Entri Populer